Kamis, 14 Agustus 2008

Roh Mentawai





Gerak tari ritual para sikerei, tato di sekujur tubuh laki-laki dan perempuan, dan rumah adat uma, merupakan warisan budaya tradisional suku Mentawai yang menarik dikunjungi.

Eksotisme alam dan budaya Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat sudah terkenal ke mancanegara. Bukan hanya ombak-ombak besar yang jadi teman akrab para peselancar mancanegara, tapi juga hutannya yang memiliki flora dan fauna nan unik. Di antaranya, di empat jenis primata endemik, yaitu bilou atau siamang kerdil (hylobates klosii) yang secara anatomis dianggap jenis ungko tertua yang masih hidup, joja atau lutung mentawai (presbytis potenziani), monyet simakobu (simias concolor), dan bokkoi atau beruk mentawai (macaca pagensis).

Sementara budaya Mentawai yang unik sudah pula dikenal sejak lama. Orang Mentawai secara historis ditengarai sebagai gelombang pertama bangsa Indonesia yang datang dari Asia daratan. Mereka terisolasi di Kepulauan Mentawai, ketika kepulauan itu berpisah dari daratan Asia dan Pulau Sumatra akibat mencairnya es menjadi lautan pada Zaman Pleistocene, kira-kira satu juta sampai 10 ribu tahun lalu. Pemisahan inilah yang menyebabkan flora dan fauna Mentawai sangat berbeda dengan Pulau Sumatra, begitu juga dengan budayanya.

Kepulauan Mentawai yang letaknya berhadapan dengan Samudera Hindia memiliki empat pulau besar yang seluruhnya berpenghuni, yaitu Siberut (lebih dari empat ribu kilometer persegi), Sipora (840 meter persegi), dan Pulau Pagai (dua pulau utara dan selatan dengan luas 1.870 kilometer persegi). Mentawai sejak 1999 sudah menjadi kabupaten tersendiri dengan ibukota Tuapejat yang terletak di Pulau Sipora.

Dari keempat pulau itu, hanya di Siberut kebudayaan tradisional Mentawai masih bertahan. Di pedalaman atau di tengah hutan pulau terbesar itu masih terdapat masyarakat Mentawai yang hidup secara tradisional dan sering dikunjungi peneliti dan turis asing.

Masyarakat tradisional Mentawai hidup secara sederhana di kampung-kampung di tengah hutan atau di hulu-hulu sungai dalam rumah adat yang dinamakan uma ini hidup terpisah satu sama lain, namun mereka sumua sangat menjaga keseimbangan dengan alam. Penjagaan keseimbangan dengan alam itu didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap kekuatan daun-daun atau yang terkenal dengan kepercayaan arat sabulungan. Tak heran jika dalam setiap upacara adat orang Mentawai selalu menggunakan bunga dan daun-daunan.

Dalam konsep arat sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena itu orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana. Misalnya melepas sampan ke sungai, mendirikan uma, mengobati orang sakit, dan pengangkatan sikerei atau tabib yang pesta akbarnya berlangsung hingga tiga bulan.

Keunikan lain masyarakat Mentawai yang masih menggunakan pakaian tradisional berupa kabit (cawat) dari kulit kayu untuk para lelaki dan rok serta penutup dada untuk kaum wanita adalah tato yang dibuat di hampir seluruh tubuh.

Tato yang bagi orang kota identik dengan rocker atau preman itu bagi masyarakat Mentawai memiliki berbagai arti secara adat. Mulai dari tanda pengenal kelompok yang bisa dianalogikan dengan kartu tanda pengenal bagi kita, lambang status sosial, profesi, prestasi, dan tentu saja sebagai aksesori abadi yang menempel di tubuh.

Menurut Ady Rosa, peneliti seni tato Mentawai dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP), seni tato mulai dikenal di Mentawai sejak orang-orang Siberut datang ke Indonesia antara 1500-500 SM. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson. Tato di Siberut, sudah ada jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1.300 SM. "Jadi bukan tato Mesir yang tertua di dunia, tapi tato Mentawai," katanya.

Di Siberut ada sekitar 160 motif tato yang biasa disebut ti'ti'. Masing-masing tato mimiliki motif tersendiri dengan mutu dan keindahan yang memperlihatkan kekuatan ekspresi si pembuat tato yang biasa disebut sipatiti.

Secara teknis, tato dibuat dengan cara mengukur, dan menggambar pola motif tato yang diingankan dengan lidi yang dilumuri jelaga, arang tempurung, dan dicelupkan ke air tebu di bagian yang akan ditato. Setelah itu baru ditato menggunakan jarum. Untuk menanggulangi infeksi, sipatiti mempunyai cara tersendiri yaitu dengan melumuri tato dengan air abu.

Bagaimana rasanya ditato? "Sakitnya sampai ke jantung, saat bagian dada saya ditato," kata Teutaloi, 53 tahun, ketua dewan adat di Ugai, Siberut Selatan. Ia mengaku selalu demam setiap kali habis ditato. Tapi rasa sakit yang dirasa tak menghalangi Teutaloi untuk kembali mentato bagian tubuh lainnya. Pasalnya kini hampir seluruh bagian tubuhnya dihiasi aneka motif tato, meski prosesnya dikerjakan secara bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun. Rasa sakit ini pula yang membuat anak-anak muda Mentawai enggan ditato. "Saya mau saja kalau tidak sakit," kata Aman Baroigok anak seorang kepala suku di Sakaliou.

Alasan seperti itulah yang kemudian membuat tradisi tato Mentawai mulai langka hingga jarang ditemukan orang Mentawai usia di bawah 40 tahun yang masih bertato. Uniknya, sebagai sebuah tradisi khas Mentawai, tak jarang para turis asing yang berkunjung meminta bagian tubuhnya ditato. Permintaan itu biasanya dipenuhi dengan mentato motif yang tak memiliki arti tertentu alias hanya sekadar hiasan di bagian tubuh yang diinginkan. Tapi tentu saja dengan imbalan tertentu.

Saat datang ke Siberut beberapa waktu lalu, saya sempat tinggal di uma suku Sakaliau. Uma yang didiami oleh enam kepala keluarga ini pintu masuknya dihiasi puluhan tengkorak monyet dan rusa yang digantung bersamaan dengan hiasan kayu, dan hasil buruan kepala suku. Sementara untuk keluarga muda, mereka biasanya tinggal di sapou atau rumah-rumah yang lebih kecil.

Selama berada di uma ini saya bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari suku Sakaliau yang masih tradisional, seperti mengolah sagu dan berburu. Selain itu saya juga sempat menyaksikan upacara pengobatan yang dilakukan oleh seorang sikerei atau dukun. Tapi jika kebetulan sedang beruntung kita mungkin bisa menyaksikan upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara memegang panah pertama, upacara pembuatan tato, upacara kematian, dan upacara adat lainnya.

Ingin merasakan bagaimana kehidupan masyarakat Mentawai? Silakan datang ke Pulau Siberut. Anda jangan khawatir soal keamanan lantaran melihat di film-film bagaimana para lelaki Mentawai membawa parang panjang dan panah yang biasanya beracun. Suku Mentawai termasuk suku yang bersahabat dan selalu tersenyum kepada para pengunjung yang datang dengan makasud baik. Hanya saja agar petualangan lebih nyaman Anda perlu membawa pemandu sebagai penerjemah karena orang Mentawai memiliki bahasa sendiri. ( Korantempo )

http://www.korantempo.com

Tidak ada komentar: