Jumat, 15 Agustus 2008

Arat Sabulungan



Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan dan Islam. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah Arat Sabulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulug / bulung (= daun).

Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam roh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.

Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kepala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.

Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan roh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada roh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketcat ( Roh )

Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketcat atau roh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.

Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.

Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.

Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.

Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikerei, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.

Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulou


Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.

Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah

(1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya

(2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.


Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh sipananaek.Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam Uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu memiliki roh roh yang berfungsi sebgai penjaga uma ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.

Tulisan ini diambil dari:
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kamis, 14 Agustus 2008

Roh Mentawai





Gerak tari ritual para sikerei, tato di sekujur tubuh laki-laki dan perempuan, dan rumah adat uma, merupakan warisan budaya tradisional suku Mentawai yang menarik dikunjungi.

Eksotisme alam dan budaya Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat sudah terkenal ke mancanegara. Bukan hanya ombak-ombak besar yang jadi teman akrab para peselancar mancanegara, tapi juga hutannya yang memiliki flora dan fauna nan unik. Di antaranya, di empat jenis primata endemik, yaitu bilou atau siamang kerdil (hylobates klosii) yang secara anatomis dianggap jenis ungko tertua yang masih hidup, joja atau lutung mentawai (presbytis potenziani), monyet simakobu (simias concolor), dan bokkoi atau beruk mentawai (macaca pagensis).

Sementara budaya Mentawai yang unik sudah pula dikenal sejak lama. Orang Mentawai secara historis ditengarai sebagai gelombang pertama bangsa Indonesia yang datang dari Asia daratan. Mereka terisolasi di Kepulauan Mentawai, ketika kepulauan itu berpisah dari daratan Asia dan Pulau Sumatra akibat mencairnya es menjadi lautan pada Zaman Pleistocene, kira-kira satu juta sampai 10 ribu tahun lalu. Pemisahan inilah yang menyebabkan flora dan fauna Mentawai sangat berbeda dengan Pulau Sumatra, begitu juga dengan budayanya.

Kepulauan Mentawai yang letaknya berhadapan dengan Samudera Hindia memiliki empat pulau besar yang seluruhnya berpenghuni, yaitu Siberut (lebih dari empat ribu kilometer persegi), Sipora (840 meter persegi), dan Pulau Pagai (dua pulau utara dan selatan dengan luas 1.870 kilometer persegi). Mentawai sejak 1999 sudah menjadi kabupaten tersendiri dengan ibukota Tuapejat yang terletak di Pulau Sipora.

Dari keempat pulau itu, hanya di Siberut kebudayaan tradisional Mentawai masih bertahan. Di pedalaman atau di tengah hutan pulau terbesar itu masih terdapat masyarakat Mentawai yang hidup secara tradisional dan sering dikunjungi peneliti dan turis asing.

Masyarakat tradisional Mentawai hidup secara sederhana di kampung-kampung di tengah hutan atau di hulu-hulu sungai dalam rumah adat yang dinamakan uma ini hidup terpisah satu sama lain, namun mereka sumua sangat menjaga keseimbangan dengan alam. Penjagaan keseimbangan dengan alam itu didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap kekuatan daun-daun atau yang terkenal dengan kepercayaan arat sabulungan. Tak heran jika dalam setiap upacara adat orang Mentawai selalu menggunakan bunga dan daun-daunan.

Dalam konsep arat sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena itu orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana. Misalnya melepas sampan ke sungai, mendirikan uma, mengobati orang sakit, dan pengangkatan sikerei atau tabib yang pesta akbarnya berlangsung hingga tiga bulan.

Keunikan lain masyarakat Mentawai yang masih menggunakan pakaian tradisional berupa kabit (cawat) dari kulit kayu untuk para lelaki dan rok serta penutup dada untuk kaum wanita adalah tato yang dibuat di hampir seluruh tubuh.

Tato yang bagi orang kota identik dengan rocker atau preman itu bagi masyarakat Mentawai memiliki berbagai arti secara adat. Mulai dari tanda pengenal kelompok yang bisa dianalogikan dengan kartu tanda pengenal bagi kita, lambang status sosial, profesi, prestasi, dan tentu saja sebagai aksesori abadi yang menempel di tubuh.

Menurut Ady Rosa, peneliti seni tato Mentawai dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP), seni tato mulai dikenal di Mentawai sejak orang-orang Siberut datang ke Indonesia antara 1500-500 SM. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson. Tato di Siberut, sudah ada jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1.300 SM. "Jadi bukan tato Mesir yang tertua di dunia, tapi tato Mentawai," katanya.

Di Siberut ada sekitar 160 motif tato yang biasa disebut ti'ti'. Masing-masing tato mimiliki motif tersendiri dengan mutu dan keindahan yang memperlihatkan kekuatan ekspresi si pembuat tato yang biasa disebut sipatiti.

Secara teknis, tato dibuat dengan cara mengukur, dan menggambar pola motif tato yang diingankan dengan lidi yang dilumuri jelaga, arang tempurung, dan dicelupkan ke air tebu di bagian yang akan ditato. Setelah itu baru ditato menggunakan jarum. Untuk menanggulangi infeksi, sipatiti mempunyai cara tersendiri yaitu dengan melumuri tato dengan air abu.

Bagaimana rasanya ditato? "Sakitnya sampai ke jantung, saat bagian dada saya ditato," kata Teutaloi, 53 tahun, ketua dewan adat di Ugai, Siberut Selatan. Ia mengaku selalu demam setiap kali habis ditato. Tapi rasa sakit yang dirasa tak menghalangi Teutaloi untuk kembali mentato bagian tubuh lainnya. Pasalnya kini hampir seluruh bagian tubuhnya dihiasi aneka motif tato, meski prosesnya dikerjakan secara bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun. Rasa sakit ini pula yang membuat anak-anak muda Mentawai enggan ditato. "Saya mau saja kalau tidak sakit," kata Aman Baroigok anak seorang kepala suku di Sakaliou.

Alasan seperti itulah yang kemudian membuat tradisi tato Mentawai mulai langka hingga jarang ditemukan orang Mentawai usia di bawah 40 tahun yang masih bertato. Uniknya, sebagai sebuah tradisi khas Mentawai, tak jarang para turis asing yang berkunjung meminta bagian tubuhnya ditato. Permintaan itu biasanya dipenuhi dengan mentato motif yang tak memiliki arti tertentu alias hanya sekadar hiasan di bagian tubuh yang diinginkan. Tapi tentu saja dengan imbalan tertentu.

Saat datang ke Siberut beberapa waktu lalu, saya sempat tinggal di uma suku Sakaliau. Uma yang didiami oleh enam kepala keluarga ini pintu masuknya dihiasi puluhan tengkorak monyet dan rusa yang digantung bersamaan dengan hiasan kayu, dan hasil buruan kepala suku. Sementara untuk keluarga muda, mereka biasanya tinggal di sapou atau rumah-rumah yang lebih kecil.

Selama berada di uma ini saya bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari suku Sakaliau yang masih tradisional, seperti mengolah sagu dan berburu. Selain itu saya juga sempat menyaksikan upacara pengobatan yang dilakukan oleh seorang sikerei atau dukun. Tapi jika kebetulan sedang beruntung kita mungkin bisa menyaksikan upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara memegang panah pertama, upacara pembuatan tato, upacara kematian, dan upacara adat lainnya.

Ingin merasakan bagaimana kehidupan masyarakat Mentawai? Silakan datang ke Pulau Siberut. Anda jangan khawatir soal keamanan lantaran melihat di film-film bagaimana para lelaki Mentawai membawa parang panjang dan panah yang biasanya beracun. Suku Mentawai termasuk suku yang bersahabat dan selalu tersenyum kepada para pengunjung yang datang dengan makasud baik. Hanya saja agar petualangan lebih nyaman Anda perlu membawa pemandu sebagai penerjemah karena orang Mentawai memiliki bahasa sendiri. ( Korantempo )

http://www.korantempo.com

Jenderal Tato


Tato atau lukisan pada tubuh, belakangan ini makin menjadi mode. Bila semula tato merupakan bagian budaya ritual etnik tradisio-nal, kini berkembang menjadi bagian kebudayaan pop. Pada saat tato tradisional terancam punah, tato yang menjadi bagian kebudayaan pop semakin tertera di tubuh-tubuh manusia modern, semakin digandrungi.

Karenanya, jangan heran melihat artis-artis beken atau kalangan selebritis seperti Ayu Azhari, Yuni Arso, Rebecca Tumewu, Jajang C Noer, Karenina, Dian Nitami, Anjasmara, Cut Keke, Inneke Koesherawaty, dan Ari Sihasale—untuk menyebut sejumlah nama—bertato. Mereka menjadikan tato sebagai identitas yang melekat pada dirinya.

Hanya saja, tato-tato itu tidaklah sedahsyat tato tradi-sional yang sarat makna dan simbol, seperti dimiliki sejumlah suku di Tanah Air, yaitu suku Mentawai di Kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Nusa Tenggara Barat. Atau juga bangsa Polynesia yang tersebar di Kepulauan Hawaii, Easter, Marquesas, dan suku bangsa Maori (Selandia Baru).

“Tato dalam kebudayaan pop hanya sebatas kese-nangan, sebatas hiasan, dan simbol kaum muda untuk jati diri gengnya. Sedang tato tradisional, selain unik dan dashyat juga syarat simbol dan makna. Cuma sayangnya, tato tradisional ini terancam punah,” kata Drs Ady Rosa MSn, ahli tato satu-satunya di Indonesia.

Ia menegaskan, tato sebagai rumpun seni rupa tradi-sional di Tanah Air sudah terancam punah, dalam kajian-kajian seni rupa pun agak terabaikan. Boleh dikatakan tidak satu pun buku kajian sejarah seni rupa Indonesia sampai saat ini yang memasukkan kajian tato ke dalamnya.

Padahal, menurut staf pengajar seni rupa Universitas Negeri Padang ini, membicarakan tentang lukisan tubuh yang disebut tato tradisional, sebenarnya akan sama halnya dengan membicarakan lukisan gua pra-sejarah, karena sama-sama hidup di zamannya yang juga memiliki simbol dalam tatanannya, guna memberi jati diri pada suku serta perangkat strata sosial bagi masyarakatnya.

Tertarik dengan tato tradisional yang terancam punah di Indonesia, Ady Rosa yang kelahiran Jakarta, 23 Juli, 48 tahun lalu, sekitar satu tahun (1992-1993) keluar-masuk hutan di pedalaman Kepulauan Menta-wai, terutama Pulau Siberut-berjarak sekitar 120 mil barat dari Padang, Sumatra Barat—untuk mengkaji keberadaan tato pada suku tersebut.

Mengapa tato suku Mentawai? Menurut Ady, karena keberadaan tato tradisional Mentawai adalah yang ter-tua di dunia, sudah ada sejak zaman awal prasejarah (neolitikum), sejak 1.500 tahun sampai 500 tahun Se-belum Masehi, pada masa penyebaran bangsa Proto Melayu ke Nusantara yang berasal dari Yunan.

Dari penelitiannya ke Desa Terekan Hilir, Bojakan, Simalegi, Simatalu, Pulikkoman, Matotonan, Lita, Sagalube, Paipajet, dan Taileleu di Pulau Siberut, Ady yang pernah menjadi instruktur desain kerajinan pada pelatihan kerajinan di Sumatra Barat dan bidang perencanaan “Festival Istiqlal” di Jakarta, 1991 itu menemukan 160 motif tato tradisional Mentawai.

“Dari 24.566 jiwa (5.254 KK) suku asli Mentawai, yang bertato tak lebih dari 200 orang, mereka berusia 50 tahun ke atas. Dari 80 responden bertato, ditemu-kan 160 motif tato tradisional Mentawai, sebagai simbol struktur kemasyarakatan, kepercayaan, ekonomi, dan kesehatan,” ungkap Ady.

Ia melukiskan, tato Mentawai dibuat dengan alat dan bahan tradisional seperti jarum, tangkai kayu, pe-mukul, dan lidi. Pewarnanya berasal dari arang tem-purung yang dicampur air tebu. Pembuatan tato dida-hului dengan suatu prosesi punen enegat (upacara ini-siasi) bertempat di puturukat uma (galeri rumah tradisional). Acara dipimpin oleh Sikerei (dukun).

Pembuatan tato dilakukan bertahap. Tahapan perta-ma dimulai anak menjelang dewasa (11-12 tahun), pada bagian pangkal lengan. Tahap kedua, pada usia 18-19 tahun, pada bagian dada, paha, kaki, perut, dan punggung.

Menurut Ady, fungsi dan makna tato dengan bera-gam motifnya, memiliki pranata sosial-budaya yang me-liputi ekonomi, kesehatan, kepercayaan, teknologi, ke-ahlian/kepiawaian, dan dekorasi atau hiasan tubuh.

Fungsi tato sebagai jati diri suku, mempunyai kedu-dukan sebagai tato utama, dengan penempatan pada tubuh harus sesuai dengan aturan bakunya. Tato utama ini pun sekaligus menandai batas wilayah kesu-kuan.

“Tato Mentawai berfungsi sebagai alat komunikasi bagi kelompok suku, lewat gambar-gambar yang ter-dapat pada tubuh mereka. Alat komunikasi ini adalah bahasa rupa yang terwujud melalui unsur-unsur gam-bar tato, hadir lewat simbol, tanda kenal, dan hiasan,” papar Ady Rosa.

Tato sebagai simbol bagi jati diri suku menjelaskan dari mana seseorang berasal, seperti tergambar lewat motif “durukat” tato bagian depan dada pria, dan “dapdap” tato bagian dada wanita. Namun, pada masing-masing wilayah kekuasaan suku, terdapat perbedaan dalam bentuk simbolnya.

Sedang tato sebagai tanda kenal pribadi, menyirat-kan kemahiran atau kepiawaian seseorang. Seperti se-orang pemburu sejati akan mudah dikenal lewat motif-motif “joja”, “sunancura”, “sakkole”, “seguk”, dan “sakoyuan”. Begitu pula dengan sikerei (dukun) akan terlihat pada motif “sibalubalu” dan “tudak” (kalung kebesaran Sikerei). Jadi, bentuk-bentuk tato dan pe-nempatannya sudah baku.

Namun demikian, masih ada ruang gerak bagi kebe-basan kreatif pribadi, sehingga tato Mentawai ada yang memiliki fungsi hiasan. Motif yang digunakan umum-nya adalah “pulaingiania”.

Ketika eksistensi tato Mentawai itu diangkat men-jadi tesis program pascasarjana di ITB Bandung, tahun 1994, Ady Rosa oleh Prof Dr Primadi Tabrani dan Prof AD Pirous dijuluki “Jenderal Tato”. Julukan itu me-lekat hingga sekarang.

Setelah itu, Ady sebagai peneliti terus melakukan penelitian lanjutan. Ada tiga penelitian lanjutan yang ia lakukan, yakni “Studi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Suku Terasing Mentawai di Desa Sotboyak Kecamatan Siberut Utara” (dibiayai Depsos, 1995), “Fungsi dan Makna Tato Serta Implikasinya pada Peri-laku Kehidupan Sosial Budaya dalam Pembangunan” (Hibah Bersaing PT, 1997-1999), dan “Kajian Semiotik dan Mitologis tentang Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai” (Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa Depdikbud, 1999).

Sebagai “Jenderal Tato”, suami dari Farida Idrus (guru SMK 4 Padang) dan bapak dari Dipa Aditya Rosa dan Dibya Prayasitta Somya Rosa ini, mengaku tak puas hanya meneliti tato Mentawai. Ia juga berkeinginan meneliti keberadaan tato tradisional suku Dayak di Kalimantan.

Gayung bersambut, keinginan itu terkabul ketika proposal riset unggulan tentang hal itu diterima LIPI. “Belum lama ini saya menandatangani kontrak pene-litian selama tiga tahun, dengan biaya sekitar Rp 220 juta,” ujar Ady Rosa, yang juga dikenal sebagai penulis dan pelukis.

Menurut Ady, usai penelitian itu nantinya, kalau memungkinkan, ia akan meneliti tato masyarakat asli Sumba, NTB. Dengan demikian menjadi lengkap kajian tato di Indonesia, yang kini keberadaannya terancam punah.

Meski dikenal sebagai ahli tato, Ady sendiri ternyata tidak bertato. Orang mengira ia banyak tatonya. “Saya tak bertato. Karena proses membuat tato tersebut sangat sakit,” alasan kandidat Doktor dari Universiti Kebang-saan Malaysia ini.*

SUMBER : Yurnaldi, Kompas, Sabtu 24 Februari 2001

http://mantagisme.blogspot.com